Di dunia ini
yang jumlah penduduknya milyaran, semua orang tidak ada yang sama,
meskipun kembar sekalipun. Begitupun kebutuhannya, juga tidak sama.
Ketidaksamaan tersebut menjadikan manusia saling
membutuhkan dan mengharuskan bisa saling melengkapi satu dengan yang
lain. Lalu, terjadilah pertukaran atau barter antar kebutuhan dari
masing-masing manusia tersebut. Seseorang akan menukarkan barangnya yang
dibutuhkan orang lain dengan barang orang lain yang dibutuhkan orang
tersebut. Lalu pada jaman sekarang untuk mempermudah pertukaran,
dibuatlah standar alat tukar, yaitu uang.
Kira-kira begitulah asal mula terjadi sesuatu yang bernama ‘jual beli’.
Dari
landasan berpikir yang sangat mendasar tersebut, kita bisa menarik
kesimpulan sederhana bahwa jual beli itu pada prinsipnya terjadi karena
adanya perbedaan kebutuhan pada tiap manusia. Dengan perbedaan tersebut,
maka terbukalah pasar yang sangat luas. Oleh karena itu, peluang usaha
yang munculpun akan berbanding lurus dengan pasar yang ada, yaitu sangat
luas.
Ada 2 aliran marketing dalam membagi peluang pasar:
1. Blue Ocean (lautan biru)
Yaitu
terjun ke area bisnis yang rendah persaingan atau bahkan tanpa pesaing.
Caranya adalah dengan menciptakan pasar baru; yaitu menawarkan produk
atau jasa baru di masyarakat. Baru yang dimaksud bukanlah baru secara
mutlak. Bisa produk/jasa baru yang belum pernah ada, atau bisa baru
dalam hal kemasannya, pelayanannya, atau lainnya. Sehingga karena tidak
ada pemain lain yang sama dengan produk/jasa kita, maka seakan kita
memonopoli pasar.
Kreatifitas dan inovasi
sangat diperlukan pada model ini. Kemudian, penentuan harga produk/jasa
kita juga akan sangat bebas bagi kita dalam membandrolnya. Berbeda jika
sudah ada produk lain yang sama, tentunya kita akan mempertimbangkan
penentuan harga dibanding pemain lain tersebut.
Kelemahan pada model ini, kita butuh modal relatif lebih besar dan waktu yang lebih lama
sebagai bagian dari ‘pengorbanan awal’ dalam mengedukasi masyarakat
(calon pasar). Kita semua tahu, tidak semua sesuatu yang baru itu akan
langsung diterima masyarakat. Edukasi dan promosi yang bagus, modal yang
cukup, kesabaran, dan konsistensi akan sangat membantu bisnis kita.
Di perusahaan (developer)
tempat saya bekerja dulu punya gol akan mengembangkan kawasan wisata
sejarah dan budaya, dimulai dengan pembangunan rumah-rumah berdesain
Jawa Klasik, hotel dan villa
yang eksotik dengan lingkungan bernuansa ‘ndeso’. Jika para developer
lain mencari tanah property yang dekat dengan kota dan keramaian, justru
di tempat kami sebaliknya. Harga rumah di tempat kami pun sangat tinggi
meskipun jauh dari kota dan keramaian. Sehingga, pada masa perintisan
di tahun-tahun pertama, omset yang dihasilkan sangat sangat minim. Anda
bisa bayangkan, pengeluaran untuk menggaji karyawan belum termasuk biaya
operasional kantor dan lainnya sebesar ratusan juta tiap bulan, tetapi
pemasukan dari penjualan rumah hanya puluhan juta.
Pun demikian halnya kita juga bisa melihat contoh lainnya, yaitu Nusa Dua,
Bali. Dulu di awal pembentukan lingkungan kawasan disana, membutuhkan
energi sangat sangat besar. Dana, tenaga, pikiran, hingga berdarah-darah
untuk bisa membranding kawasan tersebut jadi seperti sekarang. Sekarang
harga properti di sana sudah berpuluh-puluh lipat dibanding dulu di
masa perintisan.
Resiko lain dari model Blue Ocean
ini adalah produk/jasa kita ternyata tidak diterima pasar, tidak laku,
tidak sesuai dengan ‘hati’ pasar. Ini adalah resiko paling menyakitkan
bagi pebisnis pemula. Kemudian ada resiko lagi, yaitu jika bisnis kita
laku di pasar dan berhasil mengeruk keuntungan besar, maka akan segera
bermunculan pengekor bisnis kita. Ini sudah hampir pasti. Mereka
pengekor ini adalah pemain yang masuk ke area Red Ocean (lautan merah).
2. Red Ocean (lautan merah)
Prinsip
yang dipakai dari model ini adalah: ada gula ada semut. Artinya, dimana
ada bisnis yang laku berarti disana ada pasar (konsumen), dimana ada
produk laris disana pasarnya banyak. Sehingga kita tidak perlu lagi
repot-repot eksperimen produk baru, survey pasar, tes rasa, dan lain
sebagainya, tetapi kita tinggal nyontek aja bisnis yang sudah ada dan
kita bersaing dengannya.
Model ini enaknya
selain yang disebutkan di atas, kita juga tidak perlu cari-cari lokasi
bisnis yang strategis. Karena prinsip dari model ini, lokasi paling
strategis adalah lokasi di dekat pemain sejenis lain yang sudah ramai.
Seperti misalkan kita mau buka depot ayam bakar, maka kita tinggal
menempatkan depot kita di dekat depot/warung/restoran lain yang sudah
ramai. Kenapa? Karena disitu pasarnya sudah siap. Disitu sudah banyak
orang yang suka ayam bakar, sehingga kita tidak perlu lagi banyak
promosi untuk mencari orang yang suka ayam bakar.
Saya
pernah jualan nasi pecel. Saya cari tempat strategis, di dekat
perempatan dan dekat pertokoan dan Alfamart. Dan di sekitar situ tidak
ada penjual makanan/nasi seperti saya. Kemudian saya genjot dengan
promosi, bikin undangan gratisan, dan pasang banner besar “Gak Enak Gak Usah Bayar”.
Alih-alih berhasil jualan saya ramai, ternyata sepi sama sekali. Bahkan
dalam beberapa hari hanya ada 2 pengunjung, itupun salah satunya teman
saya sendiri. Ini sungguh ada something error-nya nih. Lalu saya
berhenti kontrak tempatnya karena duit saya habis. Kemudian saya coba
jualan di lokasi lain. Saya pasang rombong saya di dekat penjual makanan
sejenis lainnya. Saya hitung, di sepanjang jalan ini, setidaknya ada 10
penjual yang juga menjual nasi pecel. Saya jalan aja, tanpa promosi,
tanpa brosur dan spanduk. Eh, ternyata jualan disini malah laris.
Kembali ke Red Ocean.
Dengan kemudahan memanfaatkan model ini, kita bisa menghemat dana
eksperimen, hemat biaya survey, dan hemat dana promosi. Tetapi karena
dinamakan Red Ocean, maka kita harus siap dengan ketatnya
persaingan, saingan kualitas produk, saingan kualitas pelayanan, dan
lainnya. Di samping itu kita juga harus siap disikut tetangga, tidak
disukai tetangga, bahkan bisa jadi pesaing kita akan menyantet kita,
hehehe… Saya dapat cerita dari seorang penjual es dawet. Dia waktu awal
jualan dulu dimusuhi tetangga jualannya yang jualan es degan. Bilangnya
merebut pelanggan. Hingga sampai-sampai bawa clurit segala. Begitulah
resiko jualan, kata saya.
Saya tidak sedang
menghakimi kedua model bisnis di atas. Karena saya melihat,
masing-masing pemegang model tersebut saling mengejek. Para penulis buku
marketing aliran Blue Ocean menyindir pemain Red Ocean tidak punya
kreatifitas tidak mau berusaha sendiri dan suka sabotase punya orang.
Begitupun sebaliknya, aliran Red Ocean menyindir lawannya tidak cerdas,
terlalu idealis, tidak realistis.
Saya hanya
ingin sharing saja. Kita bisa mengambil kebijakan sendiri, mana yang
paling sesuai dengan karakter kita, isi kepala kita, isi dompet kita,
dan kekuatan kita. Semoga bermanfaat.
FIKIH PENGUSAHA
No comments:
Post a Comment